-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ridho Alamsyah. MH, Pembubaran DPR Merupakan Kemunduran Demokrasi

Senin, 25 Agustus 2025 | Agustus 25, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-25T13:40:13Z
foto Ridho Alamsyah, MH (dok. Istimewa)

Tebingpos.com,
Jakarta|Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki 3 fungsi pertama untuk membuat undang-undang, kedua untuk mengawasi jalannya pemerintahan, serta ketiga menyetujui anggaran negara. Namun, sebuah pertanyaan besar muncul dalam benak banyak orang: mungkinkah DPR dibubarkan? Dalam opini ini, saya akan membahas kemungkinan tersebut dengan menelusuri sejarah Indonesia dan membandingkannya dengan sistem parlementer di negara lain.

Sejarah dan Sistem Politik Indonesia

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa DPR tidak selalu memiliki kedudukan yang independen dan kuat. Pada masa Orde Baru, misalnya, meskipun ada DPR, peranannya sering kali dikendalikan oleh Presiden Soeharto yang sangat dominan. Meskipun secara formal DPR tidak dibubarkan, dalam kenyataannya peranannya terbatas dan lebih banyak bertindak sebagai lembaga yang menyetujui kebijakan eksekutif tanpa banyak kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun DPR ada secara struktural, fungsinya bisa diminimalisasi atau dibatasi oleh kekuasaan eksekutif.

Namun, sejak era reformasi 1998, Indonesia kembali ke jalur demokrasi dengan memberi ruang yang lebih besar bagi DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi. Pembubaran DPR dalam sistem demokrasi ini hampir tidak mungkin terjadi tanpa alasan yang sangat mendasar, mengingat kedudukan DPR sebagai representasi rakyat yang dipilih secara langsung. Konstitusi Indonesia (UUD 1945) tidak memberikan kewenangan langsung kepada Presiden untuk membubarkan DPR, yang memperkuat pentingnya lembaga ini dalam menjaga keseimbangan kekuasaan di negara ini.

Sistem Presidensial Indonesia dan Kemungkinan Pembubaran DPR

Dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia, Presiden dan DPR memiliki kewenangan yang terpisah, yang masing-masing menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif. Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan memiliki kekuasaan yang besar, namun tidak memiliki hak untuk membubarkan DPR. Mekanisme pembubaran DPR dalam sistem ini, jika pun ada, harus melalui prosedur hukum yang sangat ketat dan melibatkan keputusan Mahkamah Konstitusi atau perubahan konstitusional yang lebih luas.

Di sisi lain, jika mengacu pada praktik di negara dengan sistem parlementer, pembubaran parlemen lebih memungkinkan dilakukan. Di Inggris, misalnya, Perdana Menteri dapat meminta pembubaran parlemen untuk memanggil pemilu lebih cepat, tentu dengan persetujuan Ratu. Prosedur yang serupa juga berlaku di Jepang, meski dengan kekuasaan terbatas pada Kaisar. Di sini, kita melihat bahwa dalam sistem parlementer, pembubaran parlemen menjadi alat untuk menyesuaikan dinamika politik dengan cepat. Namun, apakah itu menjamin stabilitas politik? Belum tentu.

Pembubaran DPR: Solusi atau Ancaman?

Secara pribadi, saya berpendapat bahwa meskipun pembubaran DPR mungkin tampak sebagai solusi untuk menghadapi ketegangan politik atau ketidakmampuan legislatif, itu bukanlah langkah yang bijak dalam konteks Indonesia. Indonesia membutuhkan stabilitas politik dan keberlanjutan pemerintahan yang dapat memastikan keberlangsungan demokrasi. Pembubaran DPR, meskipun mungkin diperlukan dalam situasi ekstrem, akan membuka potensi bagi ketidakstabilan politik yang lebih besar.

Dalam sistem presidensial Indonesia, peran DPR sebagai lembaga legislatif yang independen justru menjadi pengimbang yang sehat terhadap kekuasaan eksekutif. Meskipun kadang sulit bagi eksekutif dan legislatif untuk bekerja sama, itu adalah bagian dari dinamika demokrasi. Pembubaran DPR, dalam hal ini, bukanlah solusi, melainkan langkah mundur yang akan mengurangi representasi rakyat dalam pemerintahan.

Perbandingan dengan Negara Lain: Pembubaran yang Lebih Fleksibel dalam Sistem Parlementer

Saya juga melihat bahwa meskipun sistem parlementer memberikan fleksibilitas lebih dalam hal pembubaran parlemen, sistem ini tidak selalu menghasilkan stabilitas politik yang lebih baik. Pembubaran parlemen sering kali terjadi untuk mengatasi ketidaksetujuan antara eksekutif dan legislatif, namun hal ini justru bisa memperburuk keadaan dan menambah ketidakpastian. Dalam konteks Indonesia, sistem presidensial justru memberi kestabilan lebih dalam jangka panjang.

Sistem parlementer, dengan pembubaran parlemen yang relatif mudah, mengandung potensi ketidakstabilan politik, terutama jika sering terjadi pergantian pemerintahan melalui pemilu cepat. Negara-negara seperti Inggris dan Jepang yang menganut sistem ini lebih sering menghadapi pergolakan politik dan pergeseran kekuasaan yang cepat. Meski demikian, pembubaran parlemen masih menjadi bagian dari mekanisme checks and balances yang dapat digunakan oleh pemerintahan untuk menghadapi situasi krisis.

Kesimpulan: Tidak Ada Tempat untuk Pembubaran DPR dalam Demokrasi Indonesia

Dalam pandangan saya, meskipun secara teknis mungkin ada ruang bagi pembubaran DPR dalam situasi tertentu, Indonesia sebagai negara dengan sistem presidensial yang demokratis harus menghindari langkah tersebut. Pembubaran DPR hanya akan merusak sistem checks and balances yang sudah dibangun dengan susah payah pasca-reformasi. DPR memiliki peran vital dalam sistem pemerintahan Indonesia, dan meskipun tantangan dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif masih ada, itu bukan alasan untuk meruntuhkan lembaga yang sangat penting ini.

Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, pembubaran DPR lebih tepat dianggap sebagai langkah yang tidak seharusnya dipertimbangkan. Sebaliknya, upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan kinerja legislatif harus lebih difokuskan pada penguatan institusi ini melalui reformasi dan peningkatan kerja sama antara pemerintah dan DPR, bukan dengan cara-cara yang berpotensi merusak fondasi demokrasi kita

Oleh : Ridho Alamsyah,M.H
Fungsionaris PB HMI 2024-2026.