![]() |
Foto : Diskusi Rabuan Forum Diskusi Dan Kajian Antropologi. |
“ Artificial Intelligence dan Antropologi: Diskursus Kemanusiaan dan Teknologi "
Tebingpos.com,
Medan| Forum Diskusi dan Kajian Antropologi mengadakan Diskusi Rabuan pada Rabu, (13/8/2025) di Kota Medan.
Dalam rilis yang diterima media, Rabu (13/8) malam menyebutkan kegiatan ini dihadiri oleh dosen-dosen dan mahasiswa Pendidikan Antropologi, menghadirkan Daud, M.Si. sebagai pemantik diskusi dengan topik “Artificial Intelligence (AI) dan Antropologi”.
Acara ini menjadi ajang pertukaran gagasan tentang bagaimana teknologi AI mempengaruhi studi dan praktik antropologi, serta bagaimana antropologi dapat memberikan kontribusi balik terhadap perkembangan teknologi.
Dalam pemaparannya, Daud menjelaskan konsep dasar AI, mulai dari kemampuannya dalam memproses bahasa, menganalisis data, hingga membuat rekomendasi. Ia menekankan perbedaan antara Big Data, yang bersifat kuantitatif dan berbasis mesin, dengan Thick Data, yang berpusat pada manusia dan berfokus pada pemahaman kualitatif.
Menurutnya, penggabungan kedua pendekatan ini sangat penting agar pengembangan AI tetap berpijak pada konteks sosial dan budaya, sehingga teknologi tidak kehilangan relevansi terhadap kehidupan manusia.
Dalam materinya juga menguraikan keterkaitan AI dengan teori-teori kunci antropologi, seperti pandangan Daniel Miller tentang materialitas dan makna, Clifford Geertz tentang thick description, hingga Arjun Appadurai dan Anna Tsing yang menyoroti hubungan global, ekologi, dan budaya.
Daud menegaskan bahwa AI dapat membantu antropolog meneliti budaya lintas batas, menerjemahkan bahasa secara otomatis, mendokumentasikan budaya terancam punah, dan memahami evolusi budaya akibat perkembangan teknologi.
Ia memaparkan sejumlah topik riset yang relevan, termasuk etnografi penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari, bias budaya dan ketidakadilan algoritmik, peran AI dalam relasi kuasa, ketimpangan Global Utara–Selatan, hingga pertanyaan filosofis tentang agensi AI dalam interaksi manusia–mesin.
Sebagai contoh nyata, Daud membagikan hasil riset tentang dampak AI terhadap budaya lokal di Kota Medan. Temuan menunjukkan bahwa ChatGPT mampu mengenali tradisi dan kuliner populer secara umum, namun cenderung menyederhanakan kompleksitas budaya, menggeneralisasi lintas etnis, dan belum mampu menangkap makna simbolis serta pengalaman emosional yang hidup di masyarakat.
Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa ketika AI memberikan informasi yang kurang akurat atau terlalu sederhana, generasi muda dan seniman melihatnya sebagai titik awal untuk eksplorasi lebih lanjut, sementara tokoh adat merasa perlu mengoreksi dan mengontekstualisasikan informasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa AI tidak dipandang sebagai otoritas tunggal, melainkan sebagai salah satu sumber yang harus disaring melalui pengetahuan lokal dan pengalaman komunitas.
Dalam sesi tanggapan, Dr. Rosramadhana, S.Pd., M.Si. menegaskan bahwa antropologi perlu mengawal perkembangan AI agar tetap berpihak pada kemanusiaan. Ia menekankan pentingnya merumuskan etika penggunaan teknologi agar manusia tetap merdeka dan tidak terjebak dalam ketergantungan yang membatasi kebebasan.
Sementara itu, Drs. Edy Suhartono, M.Si. menyoroti perlunya adaptasi berkelanjutan dalam antropologi, sehingga disiplin ini mampu mengikuti perkembangan AI sekaligus tetap fokus pada pemahaman terhadap manusia.
Diskusi Rabuan ini menutup rangkaian acara dengan kesepahaman bahwa AI bukan sekadar teknologi, tetapi fenomena sosial-budaya yang perlu dipahami, dikawal, dan diarahkan oleh para antropolog. Dengan menggabungkan Big Data dan Thick Data, antropologi dapat berperan aktif dalam membentuk arah perkembangan AI agar lebih kontekstual, inklusif, dan manusiawi.
Diskursus yang berkembang antara Artificial Inteligence dengan Antropologi pada akhirnya harus menempatkan Antropologi (baca: manusia) sebagai penjaga dan penyelanat nilai-nilai kemanusuaan itu sendiri tanpa harus tunduk pada teknologi kecerdasan buatan (AI) yang nota bene merupakan produk dari perkembangan budaya manusia itu sendiri.
Forum diskusi ini menjadi momentum bagi sivitas akademika untuk memperkuat peran ilmu sosial dalam era teknologi yang terus berkembang.(id07)
Peserta Diskusi Rabuan Forum Diskusi Dan Kajian Antropolog saat membahas materi yang dihadirkan oleh Daud, MSi di salah satu cafe di Kota Medan, Rabu (13/8).